Hanya “cukup” satu kata untuk lebih bahagia

by faris on 05/27/2019

Suatu hari, saya perlu memblokir kalender untuk memastikan bahwa saya dapat hadir di suatu acara yang bagi saya sangat penting. Salah satu dari sahabat saya sewaktu kuliah akan melangsungkan pernikahan di kawasan Bogor. Sebagai sahabat “se-pergeng-an” saya pun merasa terhormat terpilih menjadi bridesman pada pernikahannya. Singkat cerita, dalam acara bridal shower sahabat saya ini, ia mengusulkan agar para bridesman menggunakan jas hitam saat resepsi pernikahannya.

Sepulangnya dari acara bridal shower itu, saya membuka lemari untuk melihat-lihat apakah jas yang dimaksud ada. Saya memiliki satu buah jas warna hitam saat itu, cuma karena berat badan saya turun, alhasil jas tersebut terasa kurang pas lagi jika digunakan. Tidak berpikir panjang, sesaat setelahnya saya pergi menuju salah satu department store untuk mencari jas hitam yang saya inginkan.

Sesampainya di sana, saya melihat-lihat berbagai macam pilihan jas yang ada. Ada yang modelnya bergaris-garis, ada yang bagian belakangnya terlipat sehingga bahu kita terlihat lebih gagah, ada yang garis bawah jasnya melekuk sehingga jasnya terlihat lebih elegan dan lain-lain dan lain-lain. Saya pun dibuat pusing dengan berbagai pilihan ini, antara ragu dan tidak untuk memilih salah satu jas yang saya inginkan.

Saya ingin memilih jas yang terbaik, tidak peduli berapa harganya. Saya lebih mementingkan apakah jas ini merupakan jas terbaik untuk saya dan jangan sampai saya salah pilih. Tidak heran, jika saat itu, saya sampai berkali-kali masuk ruang ganti untuk mencoba berbagai macam jenis dan model jas. Setelah berkontemplasi cukup lama, akhirnya saya memilih jas hitam yang ujung bawahnya agak panjang, agar tidak ada kesan “ngatung” pada jas yang saya gunakan.

Perjalanan manusia dalam hidup pada hakikatnya hanyalah kumpulan dari berbagai macam keputusan. Ketika kita bangun tidur, kita langsung harus membuat keputusan, apakah membuka handphone, pergi ke kamar mandi, ambil wudhu untuk sholat, atau kembali berselimut karena di luar rumah sedang hujan dan hawanya dingin. Setelah lulus SD, kita memutuskan di SMP mana kita akan melanjutkan sekolah, setelah SMA kita memutuskan ke kampus mana kita akan berlabuh. Ketika handphone kita rusak, maka selanjutnya handphone merek apa yang akan kita pilih? iphone, samsung, google phone, motorola, dan seterusnya dan seterusnya.

Pada pikiran kita pun terpatri, bahwa apa yang kita pilih haruslah yang TERBAIK, karena jangan sampai ada penyesalan (regret) atas apa yang kita pilih. Sekali menyesal maka kita akan menyesal selamanya, oleh karena itu kita selalu mempertimbangkan matang-matang atas setiap pilihan, keputusan dan langkah yang kita ambil. Kebebasan untuk memilih pun menjadi prinsip yang kita agungkan karena dengan kebebasan tersebut kita dapat mempertimbangan sesuatu yang TERBAIK untuk diri kita.

Psikolog Barry Schwartz (2004) dalam karyanya yang berjudul The Paradox of Choice: Why More Is Less, menjelaskan bahwa pada umumnya orang berpandangan bahwa semakin banyak pilihan yang baik maka orang-orang akan semakin puas. Namun, riset membuktikan bahwa pilihan yang banyak (choice overload) justru cenderung membuat orang semakin kecewa terhadap pilihannya dan membuat ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap pilihan yang diharapkan.

Lalu, Bagaimana solusinya agar kita bahagia terhadap pilihan atau keputusan yang kita ambil? Schwartz (2004) menjelaskan caranya adalah dengan meminimalisir berbagai pilihan menjadi pilihan-pilihan yang kita anggap esensial saja dan pasang harapan yang realistis (set low expectation) pada pilihan tersebut.

Ada satu kalimat yang saya suka dari beliau, seperti yang dilansir oleh Khazan dalam www.theatlantic.com,

“ If you ever aren’t sure if you attended the very best party or bought the very best computer, just settle for “good enough”.

Yups, kata CUKUP atau yang biasa kita sandingkan dengan cukup baik, cukup bagus, ya lumayanlah, merupakan resep agar kita menerima pilihan yang kita ambil dengan lapang dada. Schwartz menjelaskan bahwa bahwa orang-orang yang masuk dalam kelompok ini digolongkan sebagai “satisfiers”, mereka cenderung lebih bahagia dibandingkan dengan “maximizer”, yakni orang-orang yang selalu memasang pilihan yang TERBAIK dari pilihan yang ada. Memang, para maximizer mendapatkan hal yang lebih dan lebih, namun mereka cenderung tidak puas dengan apa yang mereka dapatkan, Schwartz menuturkan.

Jika masih ingat, orang tua kita dulu sering menasehati dengan kalimat “ Udah, disyukuri aja, pilihan yang terbaik terkadang bukan yang baik untuk kita, dan pilihan yang baik tidak harus yang terbaik”. Rasa syukur menurut saya merupakan perwujudan dari konsep “settling for a good enough” yang jelaskan oleh Barry Schwartz di atas.

Semakin kita bersyukur atas apa yang kita dapatkan, maka semakin bertambah kebahagiaan kita terhadapnya. Sebaliknya, semakin kita mengeluh terhadap apa yang telah kita dapatkan maka kita semakin tidak puas dan kecewa dengan terhadap apa yang telah kita miliki.

It can be hard, in our culture, to force yourself to settle for “good enough.” But when it comes to happiness and satisfaction, “good enough” isn’t just good — it’s perfect ~ Olga Khazan

No comments yet.

Write a comment: